Tantangan Pengenaan Cukai

SEBAGAI kebijakan yang masih dalam tataran usulan, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL tentu tidak luput dari tantangan. Adapun tantangan itu di antaranya perihal perumusan pengertian dan kategori makanan tinggi GGL yang dikenakan cukai.

Pembatasan pengertian dan kategori makanan penting dilakukan mengingat makanan tinggi GGL juga diproduksi pelaku UMKM dengan pangsa pasar kecil. Selain itu, Indonesia memiliki banyak makanan serta jajanan tradisional yang tinggi GGL. Penetapan batasan objek juga diperlukan  agar kebijakan ini tidak mengesampingkan kemampuan ekonomi masyarakat.

Hal ini menjadi ‘pekerjaan rumah’ yang tidak mudah. Sebab, pengecualian yang tidak tepat sasaran justru bisa memicu pergeseran pola konsumsi dari makanan yang kena cukai ke makanan lain yang tidak kena cukai. Padahal, makanan tersebut bisa jadi mempunyai dampak eksternalitas yang sama atau bahkan lebih buruk.

Selain itu, pengenaan cukai tidak menutup kemungkinan akan berdampak pada produktivitas industri. Hal ini berpotensi menimbulkan efek domino pada pengurangan tenaga kerja hingga penurunan penerimaan pajak, terutama PPN, PPh Pasal 21, dan PPh badan.

Artinya, ‘biaya’ atas penerapan cukai menjadi tantangan lain yang patut dipertimbangkan secara matang. Oleh karena itu, cukai atas makanan tinggi GGL perlu diiringi dengan paket kebijakan lain.

Selain skema earmarking, pengenaan cukai perlu dibarengi dengan kebijakan lain, seperti pemberian insentif dan subsidi. Misal, insentif dan subsidi atas makanan yang lebih sehat serta produk substitusi lain yang lebih sehat, seperti buah dan sayur.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

Membatasi konsumsi makanan tinggi garam merupakan salah satu langkah penting untuk menjaga tekanan darah tetap stabil dan memelihara kesehatan jantung. Jika konsumsinya tidak dibatasi, makanan tinggi garam dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan komplikasinya.

Garam adalah mineral kristal yang terbuat dari natrium (sodium) dan klorida. Meski umumnya digunakan sebagai bumbu masakan, garam juga dapat digunakan sebagai pengawet makanan serta penambah rasa, tekstur, dan warna makanan.

Kandungan natrium dan klorida bermanfaat untuk mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit di dalam tubuh, mendukung kinerja dan fungsi saraf, serta mengendalikan kontraksi otot tubuh.

Namun, manfaat garam untuk kesehatan tubuh tersebut baru bisa diperoleh asalkan Anda mengonsumsi garam dalam takaran yang sesuai, yaitu tidak lebih dari 1 sendok teh garam atau setara 1.500 miligram (mg) natrium tiap harinya.

Jika dikonsumsi terlalu banyak, garam bisa menyebabkan tekanan darah meningkat dan memicu hipertensi. Penyakit ini bisa menimbulkan berbagai komplikasi, seperti stroke, hipertensi maligna, penyakit jantung, kerusakan ginjal, bahkan penyakit liver. Makanan tinggi garam juga termasuk sebagai salah satu jenis makanan penyebab vertigo. Oleh karena itu, jenis makanan ini tergolong sebagai salah satu pantangan vertigo.

Jenis Makanan Tinggi Garam

Makanan tinggi garam tidak selalu berasal dari makanan yang rasanya asin karena banyak dibumbui garam. Makanan yang banyak mengandung bahan tertentu seperti MSG, baking soda, baking powder, dinatrium fosfat, natrium alginat, natrium sitrat, dan natrium nitrit, juga umumnya tergolong sebagai makanan tinggi garam atau natrium.

Kandungan tersebut biasanya bisa Anda temukan dalam beberapa jenis makanan tinggi garam berikut ini:

Kebanyakan makanan cepat saji atau fast food mengandung kalori dan natrium yang tinggi. Sebagai contoh, dalam sebungkus mi instan terkandung sekitar 750–950 mg natrium atau mungkin lebih dari itu. Jumlah ini setara dengan kandungan natrium pada 1 potong pizza atau 1 hamburger ukuran sedang.

Sementara itu, kandungan natrium dalam 1 porsi ayam goreng cepat saji bisa mencapai 2.100 mg. Kandungan natrium pada kentang goreng juga tergolong tinggi.

Selain itu, ikan dan daging olahan, seperti ikan asin, ikan yang diasap, daging ham, sosis, dan berbagai jenis frozen food atau makanan beku lainnya juga termasuk dalam makanan tinggi garam.

Makanan yang dikemas dalam kaleng, seperti kornet dan ikan kalengan, juga umumnya tergolong dalam kategori makanan tinggi garam. Rata-rata kandungan natrium pada makanan kalengan ini berkisar antara 200–700 mg per porsi.

Sayur dan buah kalengan juga termasuk dalam daftar makanan tinggi garam. Dalam setengah cangkir sayur kalengan saja bisa terkandung sekitar 350–500 mg natrium.

Produk olahan susu merupakan salah satu sumber kalsium dan vitamin D. Namun, terlalu sering mengonsumsinya juga tidak baik bagi kesehatan Anda.

Beberapa produk susu dan olahannya, seperti keju, mentega, dan margarin, diketahui mengandung garam dalam jumlah banyak. Dalam sekitar 30–50 gram produk olahan susu, terkandung sekitar 60–400 mg natrium.

Namun, jumlah natrium atau garam tersebut juga tergantung pada jenis keju, mentega, atau margarinnya. Sebagai alternatif, Anda bisa memilih produk olahan susu yang rendah garam atau berlabel unsalted.

Makanan tinggi garam selanjutnya adalah camilan ringan, terutama yang rasanya asin atau gurih. Contohnya keripik kentang, kacang asin, jamur krispi, kulit ayam goreng, dan gorengan.

Kandungan natrium pada seporsi camilan ini rata-rata berkisar antara 250-400 mg. Jumlah garam atau natrium pada camilan bisa lebih tinggi jika ditambahkan banyak perasa.

Sereal merupakan salah satu jenis makanan yang banyak dikonsumsi saat sarapan. Meski mengandung serat yang cukup tinggi, sebagian besar sereal kemasan juga tinggi akan kandungan natrium. Beberapa produk sereal juga banyak mengandung gula.

Satu porsi sereal instan bisa mengandung sekitar 200–300 mg natrium. Ini belum termasuk kadar natrium dari segelas susu yang biasanya dicampurkan dalam sereal.

Selain sereal instan, menu sarapan lain yang mengandung natrium tinggi adalah biskuit, pancake, kue kering, dan donat yang rata-rata mengandung sekitar 400–800 mg natrium per porsinya.

Selain 5 jenis makanan di atas, ada pula jenis pangan tinggi garam yang sering tidak kita sadari, yaitu acar, asinan, saus cabai, saus tomat, saus salad, kecap, dan berbagai bumbu masakan instan.

Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.

Geriatri.id - Kesehatan lansia sering kali menjadi perhatian utama seiring dengan bertambahnya usia, karena perubahan metabolisme, fungsi organ, dan daya tahan tubuh.

Salah satu pertanyaan penting yang sering muncul adalah, mana yang lebih berbahaya bagi kesehatan lansia: makanan tinggi gula atau makanan tinggi garam?

Keduanya dapat membawa dampak buruk, namun efeknya berbeda pada tubuh, terutama bagi mereka yang sudah memiliki kondisi medis tertentu seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit jantung.

Bahaya Makanan Tinggi Gula

Konsumsi gula berlebih telah lama dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, terutama diabetes.

Baca juga: 8 'Super Food' yang Ampuh Turunkan Kadar Gula Darah Bagi Lansia

The American Diabetes Association menyebutkan bahwa asupan gula yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang cepat, yang berisiko memicu diabetes tipe 2, kondisi yang umum terjadi pada lansia.

Diabetes tidak hanya mempengaruhi metabolisme, tetapi juga dapat menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan saraf, gangguan penglihatan, hingga gagal ginjal.

Studi yang diterbitkan oleh Harvard Medical School menyebutkan bahwa konsumsi makanan tinggi gula, terutama dalam bentuk minuman manis dan makanan olahan, juga dapat memicu obesitas, meningkatkan risiko penyakit jantung, dan memperburuk peradangan kronis.

Pada lansia, efek ini lebih cepat terasa karena metabolisme tubuh melambat, sehingga gula berlebih sulit diproses dengan efisien.

Selain itu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) juga mengungkapkan bahwa gula dapat merusak kesehatan gigi, yang pada lansia bisa menyebabkan infeksi dan masalah pencernaan.

Lansia yang sudah memiliki diabetes harus lebih berhati-hati dalam mengatur asupan gula mereka.

Bagaimana cara meningkatkannya?

- Anak maunya

apa sering banget kita turutin. Prinsipnya yang sering dipegang, 'yang penting anak mau makan'. Tapi kita sering nggak ngecek bahwa makanan yang dimakan anak itu tinggi gula, garam, dan lemak.

"Makanan yang masuk ke tubuh anak harus pas dengan kondisi anak. Bukannya bikin stunting atau obesitas, filosofi gizi yang harmoni dan seimbang dengan kebutuhannya," ungkap Prof dr Dodik Briawan MCN.

Menurut pengajar dan peneliti Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB ini, beberapa perilaku yang tidak sehat tapi masih sering dilakukan misalnya memberi makan tinggi kalori (karbohidrat dan lemak), tinggi natrium, terlalu manis dan rendah serat (kurangnya asupan buah dan sayur) ke anak.

Prof Dodik pun memberi gambaran hubungan

yang tinggi gula, garam, dan lemak dengan pertumbuhan dan kesehatan anak. Yuk disimak bersama, Bun.

Pertumbuhan satu unit porsi konsumsi minuman manis dalam sehari berhubungan dengan kenaikan Indeks Massa Tubuh (IMT) 0,06 unit dalam kurun waktu satu tahun pada anak-anak dan remaja.

"7 dari 8 studi melaporkan kasus dental karies berbanding lurus dengan konsumsi gula tinggi," ungkap Prof Dodik dalam acara Peringatan Hari Gizi Nasional 2018, Stunting dan Gizi Buruk Tantangan Mewujudkan Indonesia Emas 2045 di Kantor Kemendikbud, Jl Jend Sudirman, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Selain itu terdapat hubungan positif antara konsumsi minuman mengandung gula di antara anak-anak usia 12 tahun ke bawah, dan hasilnya tepat berada di tengah. "Minuman manis merupakan faktor penyumbang pada berat badan anak," tutur Prof Dodik.

Sembilan makanan sumber gula terdiri yang sering diasup anak usia 5 hingga 18 tahun seperti, jelly (20 - 23 gram), sirup (16 - 22 gram), cokelat (12 - 12,2 gram), madu (11,4 gram), selai (10 - 12 gram), permen (8 - 9 gram), gula pasir (8,4 - 8,7 gram), gula merah (7 - 8 gram), dan pemanis buatan (2,7 - 2,9 gram).

"Konsumsi natrium tinggi pada anak berhubungan dengan tekanan darah yang tinggi," tutur Prof Dodik.

Sebuah studi tahun 2012 tentang anak-anak dan remaja di AS menemukan bahwa konsumsi natrium yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah. Selain itu juga terdapat hubungan langsung yang signifikan antara sodium dan risiko stroke dan penyakit kardiovaskular. Wah, seram ya, Bun.

Contoh makanan sumber garam yaitu seperti bumbu dan olahan 53 persen, daging dan olahan 3,35 persen, lain-lain 6,35 persen, hewani dan olahan 9,15 persen, serta serealia dan olahan 28,15 persen.

Peningkatan IMT pada anak dipengaruhi oleh konsumsi minuman manis dan

lemak tinggi. Suatu penelitian menunjukkan adanya hubungan antara asupan energi dan protein dengan obesitas pada anak, kemungkinan disumbang oleh konsumsi cepat saji (makanan modern) yang tinggi energi, tinggi lemak, tinggi garam, dan rendah serat.

"Pola makan dengan lemak tinggi dan rendah serat secara longitudinal berhubungan dengan peningkatan adipositas," sambung Prof Dodik.

Makanan dengan kandung lemak misalnya daging dan olahan (39,7 gram), minyak dan olahan (35 - 37 gram), makanan komposit (30 - 35 gram), serealia dan olahan (28 - 29 gram), kacang-kacangan dan olahan (12 - 14 gram), jeroan dan olahan (11 - 14 gram), telur dan olahan (10 - 11 gram).

Dengan tahu kandungan lemaknya, kita bisa perhatikan nih seberapa banyak sih saat kita mau kasih anak makanan yang tinggi lemak. Pokoknya yang harus kita ingat, Bun, segala hal yang berlebihan itu nggak baik. Kandungan makanan yang baik pun begitu, kalau berlebihan dimakan jadinya juga malah nggak baik.

PEMERINTAH membuka ruang pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu, termasuk pangan olahan siap saji, yang mengandung gula, garam, dan lemak (GGL). Ruang pengenaan cukai tersebut tercantum dalam Pasal 194 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang 17/2023 tentang Kesehatan (PP 28/2024).

Pengenaan cukai atas pangan olahan tertentu menjadi krusial mengingat kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas, terus merangkak naik. Di sisi lain, peningkatan kasus PTM menambah beban perlindungan kesehatan dan sosial serta menurunkan produktivitas perekonomian (Sukmana, 2022).

Makanan tinggi GGL digadang menjadi salah satu penyebab PTM. Merespons masalah tersebut, pengenaan cukai bisa menjadi upaya alternatif untuk menurunkan prevalensi PTM akibat konsumsi makanan tinggi GGL (European Regional World Health Organization, 2015). Untuk itu, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL juga patut dipertimbangkan.

Setidaknya ada 4 justifikasi makanan tinggi GGL bisa dikenakan cukai.  Pertama, ekternalitas negatif dari konsumsi makanan tinggi GGL. Konsumsi makanan tinggi GGL merupakan salah satu penyebab utama PTM (Rayner dan Scarborough, 2005).

Misalnya, hipertensi yang berisiko menimbulkan penyakit kardiovaskular disebabkan tingginya asupan garam (Strazzullo et al., 2009). Kemudian, asupan gula berlebih menjadi penyebab utama obesitas yang meningkatkan risiko diabetes dan banyak jenis kanker (Lauby-Secretan et al., 2016).  Di sisi lain, biaya kesehatan yang ditimbulkan PTM juga tinggi.

Kedua, kesesuaian karakteristik makanan tinggi GGL dengan sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenakan cukai. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Cukai telah menetapkan 4 sifat atau karakteristik barang tertentu yang dikenai cukai.

Keempat karakteristik tersebut, yaitu: (i) konsumsinya perlu dikendalikan; (ii) peredarannya perlu diawasi; (iii) pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau (iv) pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Melihat karakteristik tersebut, konsumsi makanan tinggi GGL perlu dikendalikan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh karenanya, alasan tersebut bisa menjadi justifikasi pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL.

Alasan tersebut juga selaras dengan teori yang dipaparkan Cnossen (2005). Cnossen menuturkan salah satu ciri khas cukai adalah diskriminatif dalam tujuan pengenaannya. Dalam konteks ini, cukai bisa diterapkan sebagai instrumen ekonomi untuk mengendalikan konsumsi makanan tinggi GGL.

Ketiga, efektivitas cukai dalam mengubah perilaku konsumsi. Pengenaan cukai dapat meningkatkan harga makanan yang berpotensi menggeser pilihan produk yang akan dikonsumsi. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa perpajakan dapat mengurangi konsumsi makanan yang tidak sehat sehingga berdampak luas pada kesehatan masyarakat (Seah et al., 2018)

Misalnya, Ludbrook (2019) menyatakan pajak, kampanye pangan, dan intervensi subsidi dapat mendorong konsumsi makanan sehat di seluruh dunia. Selain itu, Smed et al. (2016) menaksir dampak pajak lemak jenuh (saturated fat tax) di Denmark menurunkan 4% pembelian makan dengan kandungan lemak jenuh.

Keempat, potensi penerimaan cukai baru.  Meski bukan tujuan utama, pengenaan cukai atas makanan tinggi GGL bisa menjadi sumber penerimaan cukai baru. Adanya ‘lumbung’ penerimaan baru dapat menyeimbangkan struktur penerimaan cukai Indonesia yang selama ini didominasi dari industri hasil tembakau.

Penerimaan cukai dari makananan tinggi GGL juga dapat menjadi sumber pendanaan perawatan kesehatan atas penyakit yang disebabkan GGL. Tidak hanya itu, penerimaan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan sistem kesehatan nasional, mendorong pola makan yang lebih sehat, serta sosialisasi dan kampanye kesehatan. Hal ini dimungkinkan melalui skema earmarking.

Cara Mengurangi Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Tinggi Garam

Kelebihan garam bisa berdampak bagi kesehatan tubuh Anda. Jika Anda memiliki kebiasaan sering mengonsumsi makanan tinggi garam, cobalah mulai kurangi asupan makanan tersebut mulai dari sekarang demi kesehatan Anda.

Ada beberapa cara mengurangi asupan garam yang bisa Anda coba, di antaranya:

Pertama, mulailah dengan mengurangi porsi makanan tinggi garam. Jika Anda sering ngemil makanan tinggi garam, cobalah untuk menggantinya dengan pilihan camilan lain yang lebih sehat, misalnya buah-buahan, rujak, atau yoghurt.

Ketika berbelanja makanan atau minuman tertentu, periksalah kadar natrium yang tertera pada label kemasan. Jika tersedia, Anda sebaiknya memilih makanan atau minuman yang memiliki kadar natrium rendah. Produk tersebut biasanya berlabel unsalted atau low sodium.

Dibandingkan makanan olahan atau makanan beku dalam kemasan, lebih baik buat sendiri makanan dari bahan pangan yang masih segar. Ketika memasak makanan tersebut, kurangi takaran garam, MSG, penyedap rasa, kecap, atau saus. Makanan tersebut akan lebih sehat karena mengandung garam atau natrium yang lebih sedikit.

Bila cara-cara tersebut dilakukan secara rutin dan konsisten, lambat laun kebiasaan Anda untuk mengonsumsi makanan tinggi garam yang asin dan gurih pun akan berkurang. Alhasil, Anda bisa terhindar dari berbagai risiko gangguan kesehatan yang mungkin terjadi apabila terlalu banyak mengonsumsi makanan tinggi garam.

Jika Anda merasa sulit menentukan pola makan sehat atau memilih makanan yang rendah garam, Anda bisa berkonsultasi ke dokter untuk mengetahui jenis makanan yang sesuai dengan kondisi Anda.

Mengonsumsi makanan tinggi gula dapat berakibat buruk pada kesehatan. Salah satunya yakni dapat memicu obesitas dan juga diabetes.

Secara tak sadar, beberapa jenis makanan yang dikatakan 'sehat' ternyata mengandung gula yang cukup tinggi.

Mungkin salah satu jenis makanan tersebut sering kita konsumsi sehari-hari, lho.

Lantas, apa saja jenis makanan yang termasuk tinggi gula? Yuk, kita cermati bersama di bawah ini!

Baca Juga: Gula Rafinasi, Apa Bedanya dengan Gula Alami?

Daftar Makanan Tinggi Gula

Gula adalah karbohidrat sederhana yang terdapat secara alami dalam berbagai makanan, termasuk buah-buahan, sayuran, dan susu.

Namun, adapun gula tambahan yang digunakan untuk menambah rasa manis.

Gula tambahan inilah yang menyebabkan masalah pada kesehatan. Berikut di bawah ini daftar makanan tinggi gula yang perlu diketahui:

Foto: Makanan Tinggi Gula Granola, Ini Faktanya!

Foto: Granola (Orami Photo Stocks)

Granola adalah makanan yang bersumber dari oat, kacang-kacangan, buah kering, dan juga biji-bijian.

Terlihat sehat namun ini termasuk dalam makanan tinggi gula dan kalori.

Melansir U.S Department of Agriculture, setiap 50 gram granola, terdapat kandungan nutrisi meliputi:

Salah satu sumber utama granola adalah oat. Oat ini memiliki nutrisi penting seimbang yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, dan serat.

Namun, gandum dalam granola inilah yang perlu disoroti, Moms. Biasanya, ini telah dikombinasikan dengan kacang, madu, serta pemanis tambahan lainnya.

Hal inilah yang meningkatkan kandungan gula dan kalori pada granola.

Foto: Makanan tinggi gula dalam cokelat panas.jpg

Foto: Susu Cokelat (Orami Photo Stocks)

Si Kecil menyukai susu cokelat? Yuk, mulai sekarang kurangi minuman ini, Moms!

Susu cokelat adalah salah satu makanan tinggi gula yang menggunakan cokelat bubuk dan pemanis tambahan.

Menurut U.S Department of Agriculture, setiap 100 gr susu cokelat mengandung gizi, yakni:

Baca Juga: Cobalah 3 Resep Es Selendang Mayang, Minuman Khas Betawi yang Mulai Langka

Di luar itu, susu tanpa pemanis buatan termasuk minuman yang kaya akan gizi, lho. Ini bagus untuk kesehatan tulang karena tinggi kalsium dan protein di dalamnya.

Foto: spagetti-brulee.jpg

Foto: Spageti (Orami Photo Stocks)

Gula tambahan sering tersembunyi dalam makanan yang tidak disangka, seperti saus spageti.

Umumnya, saus spageti mengandung gula alami karena kandungan tomat yang tinggi di dalamnya.

Namun, sejumlah merek saus lainnya memiliki tambahan gula di dalamnya.

Lantas bagaimana cara kita menghindari hal ini? Moms bisa mengolah saus buatan spageti rumahan agar dapat mengatur kadar gula di dalamnya.

Foto: 5 Makanan Tinggi Gula Jus Buah.jpg

Foto: Jus Buah (Orami Photo Stocks)

Seperti layaknya buah utuh, jus buah mengandung beberapa vitamin dan mineral.

Namun, ketika memilih jus buah, pilihlah yang berlabel 100% buah tanpa pemanis buatan.

Hal ini karena banyak ditemukan jus buah dengan tambahan gula yang tidak sedikit, lho.

Studi dalam PLOS One menemukan bahwa, jus buah yang ditambahkan dengan gula tambahan memiliki kadar gula yang sama dengan minuman bersoda.

Untuk itu, mulai sekarang lebih baik mengonsumsi jus buah tanpa tambahan gula lagi ya, Moms.

Foto: yogurt-makanan-tinggi-gula.jpg (Orami Photo Stocks)

Foto: Yoghurt (Orami Photo Stocks)

Yoghurt bisa sangat bermanfaat untuk kesehatan, namun tidak semua seperti itu, lho.

Diketahui, yoghurt rendah lemak memiliki kadar gula tambahan yang lebih tinggi. Hal ini untuk menambah rasa manis dari yoghurt itu sendiri.

Misalnya, satu cangkir (245 gram) yoghurt rendah lemak dapat mengandung lebih dari 45 gram gula. Melansir U.S Department of Agriculture, ini setara dengan 11 sdt gula, Moms!

Selain itu, yoghurt rendah lemak dinilai juga tidak memiliki manfaat kesehatan yang sama dengan yoghurt tinggi lemak.

Jadi, mulai sekarang lebih teliti lagi dalam membaca label kandungan gizi sebelum membelinya, ya.

Foto: makanan-tinggi-gula-saus-bbq.jpg

Foto: Saus BBQ (Orami Photo Stocks)

Sepertinya, hampir setiap orang menyukai saus BBQ yang khas dengan rasa manis dan pedasnya.

Selain enak, ini juga praktis untuk dipadankan dengan berbagai resep makanan.

Namun sayangnya, dalam 2 sdm saus BBQ (28 gram) memiliki kandungan gula sekitar 9 gram. Ini setara dengan 2 sdt gula, Moms.

Lantas, apakah semua merek saus BBQ mengandung gula tinggi? Tentu, tidak semua seperti itu, ya.

Moms bisa membaca label makanan dengan teliti untuk mencegah hal ini terjadi.

Baca Juga: Mengenal Beragam Jenis Sawi yang Dapat Diolah Menjadi Ragam Masakan Lezat

Foto: saus tomat makanan tinggi gula.jpg (Orami Photo Stock)

Foto: Saus Tomat (Orami Photo Stocks)

Menyerupai saus BBQ, ini juga termasuk dalam makanan tinggi gula berikutnya. Rasanya yang manis ini tak heran jika saus tomat mengandung gula yang cukup tinggi.

Dalam 1 sdm saus tomat, mengandung hampir 1 sdt gula penuh, lho. Yuk, kurangi memberikan saus tomat pada menu makanan Si Kecil, Moms!

Foto: Makanan Tinggi Gula Salad-3.jpg

Foto: Salad (Orami Photo Stocks)

Rasa sayur yang hambar akan menjadi sempurna apabila dipadankan dengan dressing atau bumbu salad.

Namun, sejumlah merek dressing buatan memiliki kandungan gula yang cukup tinggi di dalamnya, lho.

Hal ini untuk 'menutupi' rasa hambar pada sayuran tersebut. Untuk alternatifnya, bisa menggunakan beberapa perasa alami seperti:

Jika ingin merasakan khasiat yang optimal, cobalah untuk mengonsumsi salad tanpa saus apapun, Moms!

Foto: buah kering makanan tinggi gula.jpg (Astronautfoods.com)

Foto: Buah Kering (Orami Photo Stocks)

Buah kering cenderung terdengar jauh lebih sehat, bukan? Nyatanya, ini termasuk dalam makanan tinggi gula berikutnya.

Hal ini karena proses pengolahan buah kering cukup kompleks. Belum lagi jika terdapat bahan pengawet agar lebih tahan lama.

Misalnya saja segenggam buah cranberry kering, mengandung sekitar 27 gr gula tambahan di dalamnya.

Jika ingin merasakan khasiat dari buah-buahan, langsung konsumsi dari buah segar saja, ya.

Foto: Makanan Tinggi Gula Es Kopi Susu.jpg

Foto: Kopi (Orami Photo Stocks)

Es kopi susu sedang tren akhir-akhir ini. Nyatanya, dibalik kelezatannya tersimpan kandungan gula yang cukup tinggi.

Tak hanya itu, kopi yang memiliki tambahan rasa atau sirup juga demikian, lho.

Adapun sejumlah minuman kopi perasa mengandung 45 gram gula atau setara dengan 11 sdt gula tambahan.

Yuk, mulai sekarang untuk minum kopi tanpa tambahan gula atau perasa lainnya, Moms.

Baca Juga: 13 Manfaat Susu Kedelai bagi Tubuh dan Ibu Hamil, Sehat Banget!

Foto: Bolehkah-Ibu-Menyusui-Minum-Soda.jpg

Foto: Minuman Bersoda (Orami Photo Stocks)

Terlihat menyegarkan tapi jangan sampai terlena karena penampilannya, Moms!

Minuman bersoda dinilai memiliki kandungan gula yang tinggi dan dapat membahayakan kesehatan.

Melansir data dalam Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 1 gelas minuman soda terdapat 33 gram gula di dalamnya, lho.

Sebagai gantinya, Moms bisa minum air putih atau membuat air detoks di rumah dengan bahan-bahan alami.

Selain menyehatkan, ini juga dapat mengisi kembali kandungan vitamin dan mineral dalam tubuh.

Foto: Makanan Tinggi Gula Biskuit.jpeg

Foto: Biskuit (Orami Photo Stocks)

Biskuit adalah salah satu camilan ringan yang sering menjadi 'pelengkap' saat nonton film.

Rasa renyah dan manis yang dihasilkan membuat kita ketagihan untuk memakannya.

Namun, kebanyakan kue yang dijual di toko mengandung tepung olahan, pengawet, serta pemanis buatan.

Bahkan jika dilihat, kandungan gulanya cukup tinggi untuk dikonsumsi sehari-hari.

Untuk mencegah diabetes, cobalah untuk membuat aneka resep kue di rumah dengan kandungan gula yang lebih rendah.

Foto: cara-membuat-roti-tawar.jpg

Foto: Roti (Orami Photo Stocks)

Roti adalah salah satu sumber makanan yang tinggi karbohidrat dan serat. Namun, sejumlah roti termasuk dalam makanan tinggi gula yang jarang disadari.

Hal ini karena olahan tepung, ragi, dan gula di dalamnya. Melansir livestrong.com, dalam satu buah roti putih mengandung 1.4 gr gula.

Mengonsumsi terlalu banyak roti dapat menyebabkan lonjakan kadar glukosa darah dan insulin.

Foto: kalori teh manis tinggi gula.jpg (Orami Photo Stocks)

Foto: Es Teh Manis (Orami Photo Stocks)

Sering minum es teh manis sehari-hari? Yuk, kurangi minuman dan makanan tinggi gula ini, Moms!

Hal ini terutama bagi es teh yang berada dalam kemasan produk.

Umumnya, es teh jenis ini mengandung sekitar 35 gram gula dalam 340 ml kemasan. Hal ini setara dengan sebotol soda, lho.

Jangan sampai rasa manis yang menyegarkan tersebut mendekatkan kita pada risiko diabetes, Moms.

Baca Juga: Ini Alasan Susu Kental Manis Dilarang BPOM untuk Dikonsumsi Anak

Foto: makanan terarang makanan kaleng

Foto: Buah Kaleng (Orami Photo Stocks)

Seluruh jenis buah mengandung gula alami. Namun, beberapa buah kalengan yang dikupas dan diawetkan dalam sirup, termasuk dalam makanan tinggi gula.

Hal ini karena pengolahannya mengurangi jumlah serat dan menambahkan gula tambahan dalam kadar banyak.

Bahkan, proses pengalengan juga dapat menghancurkan vitamin C di dalamnya, lho.

Yuk, segera catat daftar makanan dan minuman tinggi gula di atas, Moms. Jangan sampai terlewati lagi, ya!